Beberapa waktu belakangan ini saya sedang dekat dengan beberapa anak kecil di sekitar rumah. Tidak terlalu dekat seperti yang dibayangkan. Biasa saja. Mereka sebagian anak-anak yang diajar ngaji oleh ibuku tiap sore. Anak-anak ini selalu mengajak saya untuk bermain bola. Seminggu yang lalu akhirnya saya ikut ajakan mereka setelah berkali-kali mengelak dengan alasan-alasan klasik. Suatu
Tiga belas tahun yang lalu, sore jam sekian: ketika raja mentari dengan malas meninggalkan singgasana angkasa untuk turun minum–berganti kuasa sejenak dengan ratu bulan. Senja di langit menguning senyap. Burung-burung liar lelah berputar-putar, lalu terbang bersarang pulang. Pasangan muda-mudi masih berderet, tidak beranjak dari tepian danau. Mungkin itu yang mereka cari untuk bisa bersembunyi di
Nadia, kamu tahu apa yang paling indah dari menjalin sebuah hubungan? Meninggalkan cinta tanpa dendam dan meneruskan hubungan melalui doa-doa yang terucap dari mulut kita. ***
Kawan, apa kabar? Liburan sudah akan datang kan? Bila harus memilih, kamu pasti lebih memilih untuk menjemputnya daripada harus menunggu meski sebentar. Aku yakin kamu sudah ingin cepat-cepat bersembunyi (sejenak) dari rutinitas kerja yang membosankanmu itu. Aku membaca sesekali keluh kesahmu di jejaring sosial. Aku memang belum merasakan ada di posisimu—aku masih saja belum sanggup
Teruntuk: Pencuri yang (tak) terhormat. Apa kabarmu hari ini? Kapan kita bisa bertemu lagi? Aku punya beberapa pertanyaan di kepala untuk aku ajukan padamu. Tidak banyak tapi cukup membuatku penasaran. Kamu mengunjungi rumahku kemarin malam kan? Kenapa tak mengirim pesan singkat padaku dulu? Kan aku bisa menyiapkan setidaknya segelas teh manis hangat untuk kiranya menghangatkan
“Sayang, kapan kita menikah?” Aku ingat pertanyaanmu malam itu. Aku benar-benar terkejut. Tak menduga juga malu karena kamu yang meminta lebih dulu, bukan aku. Kesiapanku sebagai seorang pria muda diuji. Di usiaku yang baru saja dewasa aku merasa belum begitu siap untuk yang satu ini. Meski aku tak menampik keinginan untuk segera mengiyakan. Sebenarnya aku
Senin pagi, 25 Agustus 2013 : Saya tiba-tiba saja ingin menyapa beberapa teman kampus yang sudah lulus dan lama tak bertegur sapa. Twitter menjadi pengantar salam saya. Setelah berbasa-basi berbalasan, salah satu teman yang sedang bekerja di Bandung bertanya kapan saya dan teman-teman di Jakarta main ke sana. Salah satu teman menjawab pertanyaan itu dengan